SIRAMAN ZIKRULLAH

Friday, December 5, 2008

SEPULUH HARI PERTAMA BULAN DZUL HIJJAH, HARI TASYRIQ DAN AMALAN-AMALAN YANG DISYARI'ATKAN
Written by Andi Rahmanto
Sunday, 23 November 2008 03:26


Sesungguhnya termasuk sebagian karunia Allah dan anugerah-Nya adalah Dia menjadikan untuk hamba-hamba-Nya yang shalih waktu-waktu tertentu dimana hamba-hamba tersebut dapat memperbanyak amal shalihnya. Diantara waktu-waktu tertentu itu adalah sepuluh hari (pertama) bulan Dzul Hijjah. Berkenaan dengan firman Allah ta’ala: ”Demi Fajar, dan malam yang sepuluh.” (QS. Al Hajr:1-2) Mayoritas ulama berpendapat bahwa dalam ayat ini Allah ta’ala telah bersumpah dengan “sepuluh hari” pertama dari bulan Dzul Hijjah ini. Pendapat ini pula yang dipilih oleh Ibnu Jarir ath Thabari dan Ibnu Katsir rahimakumullah dalam kitab tafsir mereka. Pada sepuluh hari pertama di bulan Dzul Hijjah ini pula kaum muslimin merayakan ‘Iedul Adha. ‘Iedul Adha atau yang disebut juga yaumul Nahr merupakan hari yang memiliki beberapa keutamaan. Dalil yang menunjukkan keutamaan dan keagungan hari ‘Iedul Adh-ha adalah hadits yang diriwayatkan oleh ‘Abdullah bin Qurth radhiyallahu‘anhu, dari Nabi shalallahu‘alaihi Wa sallam bahwa beliau bersabda: “Hari teragung di sisi Allah adalah hari ‘Iedul Adh-ha (yaumul Nahr) kemudian sehari setelahnya…” (HR. Abu Dawud) Dan hari yang agung ini dinamakan juga sebagai hari Haji Akbar. Sebagaimana Allah ta’ala berfirman: “Dan (inilah) suatu pemakluman dari Allah dan Rasul-Nya kepada manusia pada hari haji akbar.” (QS. At Taubah:3)

Dan Rasulullah shalallahu‘alaihi wa sallam juga menyebut hari agung ini dengan sebutan yang sama. Karena sebagian besar amalan-amalan manasik Haji dilakukan pada hari ini, seperti menyembelih kurban, memotong rambut, melontar jumrah dan Thawaf mengelilingi Ka’bah. (Zaadul Ma’aad) Namun apakah sepuluh hari Dzul Hijjah ini lebih mulia dari sepuluh hari terakhir dari bulan Ramadhan? Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah menjawab persoalan ini dengan jawaban yang tuntas, dimana beliau menyatakan, “Sepuluh hari (pertama) Dzul Hijjah lebih utama daripada sepuluh hari terakhir di bulan Ramadhan. Dan sepuluh malam terakhir dari bulan Ramadhan lebih utama dari sepuluh malam (terakhir) bulan Dzul Hijjah.” (Majmu Fatawa Ibnu Taimiyyah)

Muridnya Ibnul Qoyyim rahimahullah juga menyatakan,” Ini menunjukkan bahwa sepuluh malam terakhir dari bulan Ramadhan menjadi lebih utama karena adanya Laitatul Qadr, dan Lailatul Qadr ini merupakan bagian dari waktu-waktu malamnya, sedangkan sepuluh hari (pertama) Dzul Hijjah menjadi lebih utama karena hari-harinya (siangnya), karena didalamnya terdapat yaumun Nahr (hari berkurban), hari ‘Arafah dan hari Tarwiyah (hari ke delapan Dzulhijjah). (Zadul Maa’ad) Hari-hari sepuluh pertama bulan Dzul Hijjah ini memiliki beberapa keutamaan dan keberkahan, dan penjelasannya sebagai berikut:

· Keutamaan Sepuluh Hari Pertama Bulan Dzul Hijjah

Imam Bukhari meriwayatkan dari Ibnu Abbas radhiyallahu’anhuma, bahwasanya Rasulullah shalallahu’alaihi wa sallam bersabda: "Tiada hari yang lebih di cintai Allah ta'ala untuk berbuat suatu amalan yang baik dari pada hari-hari ini yaitu sepuluh hari Dzul Hijjah, para sahabat bertanya ,"wahai Rasulullah, tidak pula dengan jihad fii sabilillah? Rasulullah menjawab," tidak, tidak pula jihad fii sabilillah, kecuali jika ia keluar dengan jiwa dan hartanya, kemudian ia tak kembali lagi".

Dan Imam Ahmad rahimahullah meriwayatkan dari Ibnu Umar radhiyallahu'anhuma, bahwa Rasulullah shalallahu’alaihi wa sallam bersabda: "Tiada hari yang lebih baik dan lebih di cintai Allah ta'ala untuk beramal baik padanya dari sepuluh hari Dzul Hijjah, maka perbanyaklah membaca tahlil (Laa ilaaha illallah), takbir (Allahu Akbar) dan tahmid

(Alhamdulillah)".

Begitu pula Ibnu Hibban dalam shahihnya meriwayatkan dari Jabir radhiyallahu’anhuma, bahwa Rasulullah shalallahu’alaihi wa sallam bersabda: "Hari yang paling utama adalah hari Arafah" Dari Said bin Jubair rahimahullah, dia meriwayatkan hadits dari Ibnu Abbas radhiyallahu’anhuma, “Jika kamu masuk ke dalam sepuluh hari pertama bulan Dzul Hijjah, maka bersungguh-sungguhlah sampai hampir saja ia tidak mampu menguasainya (melaksanakannya).” (HR. Ad Darimi, hadits hasan) Ibnu Hajar berkata dalam kitabnya Fathul Baari: “Sebab yang jelas tentang keistimewaan sepuluh hari di bulan Dzul Hijjah adalah karena pada hari tersebut merupakan waktu berkumpulnya ibadah-ibadah utama; yaitu shalat, shaum, shadaqah dan haji. Dan itu tidak ada di hari-hari selainnya.” Dan di antara keberkahan hari ‘Arafah yaitu, pada hari itu banyak orang yang dibebaskan oleh Allah ta’ala, dia mendekat ke langit dunia dan membangga-banggakan para jama’ah Haji di hadapan para Malaikat. Dari ‘Aisyah radhiyallahu‘anha, ia berkata, Rasulullah shalallahu‘alaihi wa sallam bersabda: “Tidak ada hari yang Allah lebih banyak membebaskan hamba-Nya dari adzab neraka daripada hari ‘Arafah. Sesungguhnya Dia (pada hari itu) mendekat, kemudian menbangga-banggakan mereka (para jama’ah Haji) dihadapan para Malaikat.” Lalu Dia bertanya,”Apa yang diinginkan oleh para jama’ah Haji itu?” (HR. Muslim)

Dan dari Jabir bin ‘Abdillah radhyiallahu’anhu, dia berkata, “Rasulullah shalallahu‘alaihi wa sallam bersabda, “Pada hari ‘Arafah sesungguhnya Allah turun ke langit dunia, lalu membangga-banggakan mereka (para jama’ah Haji) di hadapan para Malaikat, maka Allah berfirman,’Perhatikan hamba-hamba-Ku, mereka datang kepada-Ku dalam keadaan kusut berdebu dan tersengat teriknya matahari, datang dari segala penjuru yang jauh. Aku bersaksi kepada kalian (para Malaikat) bahwa Aku telah mengampuni mereka.’” (HR.Ibnu Khuzaimah, Ibnu Hibban, al Laalikai, dan Imam al Baghawi, hadits shahih)




Amalan-Amalan Yang Disyari'atkan Pada Sepuluh Hari Pertama Bulan Dzul Hijjah

* Melaksanakan ibadah haji dan umrah, dan ini adalah amalan yang paling utama. Banyak sekali hadits-hadits Rasulullah shalallahu’alaihi wa sallam yang menjelaskan keutamaan haji dan umrah, di antaranya: "Dari umrah yang satu ke umrah yang lain sebagai penghapus dosa-dosa diantara keduanya dan haji yang mabrur tidak ada balasannya, kecuali surga" Dan banyak lagi hadits-hadits yang lain.

* Puasa dengan sempurna (penuh) pada sepuluh hari Dzul Hijjah atau semampunya, terutama pada hari Arafah (9 Dzul Hijjah) bagi yang tidak melaksanakan ibadah haji. Sebagaimana petunjuk Nabi shalallahu‘alaihi wa sallam, adalah beliau berbuka (tidak berpuasa) ketika berada di ‘Arafah pada hari ‘Arafah (sedang ber haji). (lihat shahih Bukhari kitab al Hajj dan shahih Muslim kitab ash Shiyaam) Ibnul Qoyyim rahimahullah menjelaskan, “Berbukanya Rasulullah shalallahu‘alaihi wa sallam pada hari ‘Arafah itu mengandung beberapa hikmah, diantaranya memperkuat do’a di ‘Arafah, bahwa berbuka dari puasa yang wajib disaat perjalanan safar lebih utama , maka apa lagi dengan puasa yang hanya hukumnya sunnah…” Ibnul Qoyyim melanjutkan, “Guru kami, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah mengambil jalan yang berbeda dengan orang lain, yaitu bahwa hari ‘Arafah merupakan hari raya bagi mereka yang sedang berwukuf di ‘Arafah dikarenakan pertemuan mereka disana, seperti pertemuan mereka di hari raya (yaumul ‘Ied), dan pertemuan ini hanya khusus bagi mereka yang berada di ‘Arafah saja, tidak bagi yang selain mereka…” (Zaadul Ma’aad) Tidak diragukan bahwa ibadah puasa merupakan bentuk amalan yang utama dan ia merupakan amalan yang di pilih oleh Allah ta'ala untuk diri-Nya. Sebagaimana terdapat dalam sebuah hadits Qudsy: "Puasa adalah untuk-Ku, dan Akulah yang akan membalasnya, dia (hamba yang berpuasa) meninggalkan syahwat, makan dan minumnya demi Aku" Diriwayatkan dari Abu Sa'id Al-Khudry radhiyallahu’anhuma berkata, Rasulullah shalallahu’alaihi wa sallam bersabda: "Tidaklah ada seorang hamba yang berpuasa sehari di jalan Allah, melainkan Allah akan menjauhkan wajahnya dari neraka selama tujuh puluh tahun (jarak tempuh perjalanan selama tujuh puluh tahun) karena puasanya". (Muttafaq Alaih). Imam Muslim meriwayatkan dari Abu Qatadah rahimahullah, bahwa Rasulullah shalallahu’alaihi wa sallam bersabda: "Saya mengharap kepada Allah agar puasa pada hari Arafah menghapuskan dosa tahun sebelumnya dan tahun yang sesudahnya"

* Membaca takbir (Allahu Akbar) dan memperbanyak dzikir pada hari-hari ini, Allah ta'ala berfirman: "Dan supaya mereka menyebut nama Allah pada hari–hari yang telah ditentukan". (QS. Al Hajj: 28). Hari-hari yang telah di tentukan dalam ayat ini ditafsirkan dengan sepuluh hari Dzul Hijjah. Para ulama berpendapat bahwa disunahkan pada hari-hari

ini untuk memperbanyak dzikir, sebagaimana terdapat dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Umar radhiyallahu'anhuma, termaktub dalam musnad Imam Ahmad: "Maka perbanyaklah pada hari-hari ini tahlil, takbir dan tahmid" Imam Bukhari rahimahullah menjelaskan bahwa Ibnu Umar dan Abu Hurairah radhiyallahu 'anhuma, mereka berdua pergi ke pasar pada sepuluh hari Dzul Hijjah untuk menggemakan takbir pada khalayak ramai, lalu orang-orang mengikuti takbir mereka berdua. Ishaq rahimahullah meriwayatkan dari para ahli fiqih pada masa tabi'in, bahwa mereka mengucapkan pada sepuluh hari Dzul Hijjah: " Allahu Akbar, Allahu Akbar, Laa Ilaha Ilallah, wa-Allahu Akbar, Allahu Akbar wa Lillahil Hamdu (Allah Maha Besar, Allah Maha Besar, tiada ilah yang berhak untuk di sembah kecuali Allah, dan Allah Maha Besar, AllAh Maha besar dan bagi Allah segala pujian)" Dan disunnahkan pula mengeraskan suara ketika melantunkan takbir di tempat-tempat umum, seperti: di pasar, di rumah, di jalan umum atupun di masjid dan di tempat-tempat yang lain. Allah berfirman: "Dan hendaklah kamu mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu". (QS. Al Baqarah: 185). Tidak diperbolehkan melantunkan takbir secara jama'i (bersama-sama dengan satu suara), karena hal itu tidak pernah dicontohkan oleh para ulama salaf, karena yang sesuai dengan sunnah Nabi adalah bertakbir sendiri-sendiri tidak bersama-sama. Dan inilah cara yang disyari'atkan pada setiap dzikir dan do'a, terkecuali bila ada seseorang yang tidak mengetahui maka boleh dibaca bersama-sama dengan tujuan untuk mengajarkan. Dan dibolehkan berdzikir dengan semampunya dari berbagai macam takbir, tahmid, tasbih dan do'a-do'a lain yang disyari'atkan.

* Bertaubat dan menutup setiap pintu maksiat dan dosa, hingga ia meraih ampunan dan rahmat Allah, karena maksiat dapat menjauhkan seseorang dari rahmat-Nya, sedangkan keta'atan dapat mendekatkan seseorang kepada Allah dan meraih cinta-Nya. Diriwayatkan dari Abu Hurairah radhiyallahu’anhuma, bahwa Rasulullah shalallahu’alaihi wa sallam bersabda: "Sesungguhnya Allah cemburu dan cemburunya Allah adalah terhadap hamba-Nya yang melakukan hal-hal yang diharamkan-Nya " ( Muttafaq 'alaih).

* Memperbanyak amal shaleh dan ibadah-ibadah yang di sunnahkan, seperti; shalat, jihad, membaca Al quran, dan beramar ma'ruf nahi munkar dan lain-lain, karena sesungguhnya ibadah-ibadah semacam ini dilipatgandakan pahalanya, bahkan amalan-amalan yang biasa lebih utama dan dicintai Allah dari pada amalan yang utama pada waktu yang lain.

* Disyari'atkan untuk melantunkan takbir di sepanjang malam dan siang hingga shalat Ied (ini dinamakan takbir mutlak), begitu pula takbir muqayyad yaitu takbir yang dilakukan setelah shalat jama'ah fardhu. Bagi mereka yang tidak melaksanakan ibadah haji, waktu takbir di mulai sejak fajar hari Arafah, sedangkan bagi mereka yang sedang melaksanakan ibadah haji, waktunya di mulai dari Zhuhur hari qurban hingga Ashar hari tasyriq yang terakhir.

* Disyari'atkan pula qurban pada hari raya Iedul-Adha dan hari-hari tasyriq. Sunnah ini telah ada sejak nabi Ibrahim 'alaihissalam, di saat Allah menebus Ismail 'alaihissalam (putera Ibrahim) dengan seekor hewan sembelihan yang besar. Terdapat dalam hadits shahih bahwa Rasulullah shalallahu’alaihi wa sallam berqurban dengan dua ekor kambing yang gemuk, beliau menyembelihnya dengan tangan sendiri, dengan cara: membaca bismillah dan bertakbir seraya meletakkan kakinya pada kedua leher kambing. (Muttafaq 'alaihi ).

* Imam Muslim dan yang lainnya meriwayatkan dari Ummu Salamah radhiyallahu'anha bahwa Nabi shalallahu’alaihi wa sallam bersabda, "Bila kalian melihat hilal (bulan sabit) Dzul Hijjah dan salah seorang dari kalian ingin berkorban maka hendaknya ia tidak memotong rambut dan kukunya". Dan dalam riwayat yang lain dijelaskan, "Maka janganlah ia mengambil rambut dan kukunya hingga ia menyembelih qurbannya". Barang kali hal tersebut diserupakan dengan seseorang yang menggiring sembelihannya, Allah ta'ala berfirman: "Dan janganlah kamu mencukur kepalamu sebelum korban sampai di tempat penyembelihannya". (QS. Al Baqarah: 196). Teks larangan di atas khusus untuk pemilik hadyu (hewan sembelihan yang dibawa dari negeri seseorang yang melakukan haji) tidak termasuk istri dan anak, kecuali jika salah satu dari mereka memiliki kurban khusus, dan tidak mengapa membasuh kepala dan menggaruknya meskipun hal itu menyebabkan beberapa helai rambut tercabut.

* Hendaknya seorang muslim bersungguh-sungguh melaksanakan shalat Ied, mendengarkan khutbah, mendapat pencerahan ilmu, dan mengetahui hikmah disyari'atkannya shalat Ied, yaitu: hari untuk menggemakan kesyukuran dan beramal kebajikan. Bukan menodai hari ini dengan kebanggaan dan kesombongan, serta tidak menghabiskan waktu untuk hura-hura dan terjerumus ke dalam hal-hal yang diharamkan, semisal; dansa, ke diskotik, mabuk-mabukan dan lain sebagainya yang akan menghapuskan segala pahala amal shaleh. Pada tanggal sepuluh Dzul Hijjah, kaum muslimin berkumpul untuk melaksanakan shalat ‘Ied dan mendengarkan khutbah hingga para wanita pun disyari’atkan agar keluar rumah untuk kepentingan ini. Sebagaimana dalam ash Shahihain, bahwa Ummu ‘Athiyyah Nusaibah binti al Harits berkata: “Kami para wanita diperintahkan untuk keluar pada hari ‘Ied hingga hingga kami mengeluarkan gadis dalam pingitan. Juga mengajak keluar wanita-wanita yang sedang haidh, berada di belakang orang-orang. Mereka bertakbir dengan takbirnya dan mereka berdo’a dengan do’anya. Mengharapkan keberkahan dan kesucian dari hari yang agung ini.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Al Hafidz Ibnu Hajar berkomentar tentang maksud dari kehadiran para wanita tersebut di hari agung ini, sehingga para wanita berhalangan tidak luput dari perintah keluar untuk menghadirinya: “Maksud dari kehadiran mereka adalah menampakkan syi’ar Islam dengan memaksimalkan berkumpulnya kaum muslimin agar barakah hari yang mulia ini dapat meliputi mereka semua.” (Fathul Baari)



· KEUTAMAAN HARI-HARI TASYRIQ

Hari Tasyriq adalah tiga hari (tanggal 11,12,13 Dzul Hijjah) setelah yaumun Nahr, dinamakan hari Tasyriq karena pada hari itu orang-orang mengeringkan atau mendendengkan dan menyebarkan daging kurban. (Syarhun Nawawi li Shahih Muslim). Allah ta’ala berfirman: “Dan berdzikirlah (dengan menyebut) Allah dalam beberapa hari yang berbilang.” (QS. Al Baqarah :203)

Berkata Ibnu Abbas radhiyallahu’anhuma: “’dalam beberapa hari yang berbilang’ adalah hari-hari Tasyriq.” Dalam Shahih Muslim dari hadits Nabisyah al Hadzali radhiyallahu‘anhu, ia berkata, Rasulullah shalallahu‘alaihi wa sallam bersabda, “Hari-hari Tasyriq adalah hari-hari makan dan minum.” Dan dalam suatu riwayat dengan tambahan: “Dzikir kepada Allah.” (HR. Muslim) Dan terdapat pula di dalam as Sunnan dari ‘Uqbah bin Amir radhiyallahu’anhu bahwa dia berkata, Rasulullah shalallahu‘alaihi wa sallam bersabda: “Hari ‘Arafah, hari raya kurban dan hari-hari Tasyriq merupakan hari raya kita pemeluk Islam, dan dia merupakan hari-hari makan dan minum.” (HR. Abu Dawud)

Ibnu Rajab rahimahullah menyatakan, ”Dalam sabda Rasulullah shalallahu‘alaihi wa sallam bahwa hari-hari tersebut merupakan ‘hari-hari makan dan minum serta dzikir kepada Allah’, sebagai sebuah isyarat bahwa makan dan minum pada hari-hari raya tersebut merupakan mekanisme yang membantu untuk meningkatkan dzikir kepada Allah dan ketaatan kepada-Nya. Sebagai bagian dari kesempurnaan mensyukuri nikmat Allah, yaitu menjadikan hari-hari makan dan minum sebagai alat yang menolongnya untuk berbuat ta’at kepada-Nya…”(Latha iful Ma’aarif, Ibnu Rajab)

Pada hari-hari ini disyari’atkan untuk bertakbir sebagaimana dilakukan oleh para Sahabat radhiyallahu‘anhuma dan generasi Salaf yang datang setelah masa mereka (para Sahabat). Takbir ini juga merupakan salah satu bentuk dari berbagai dzikir kepada Allah. Adapun waktu bertakbir, para ulama memiliki beberapa pendapat. Dan pendapat yang paling shahih dan masyhur bahwa takbir dimulai dari pagi hari ‘Arafah sampai akhir hari Tasyriq. (Tafsir Ibnu Katsir dan Fathul Baari). Dalil-dalil yang mengidentifikasikan kemuliaan hari-hari Tasyriq ini adalah jatuhnya masa pelaksanaan beberapa amalan manasik Haji pada hari-hari Tasyriq tersebut, seperti hari (mabit) di Mina, hari-hari melontar jumrah, hari-hari menyembelih hewan kurban dan lain sebagainya. Dan di antara hari-hari tasyriq sendiri, maka hari yang paling utama pada periode tersebut adalah hari pertamanya, sebagaimana dalam hadits berikut: “Hari teragung di sisi Allah adalah hari ‘Iedul Adh-ha (yaumun Nahr) kemudian sehari setelahnya (yaumul qarri)…” (HR. Abu Dawud) Dinamakan yaumul qarri karena pada hari itu mereka berada di Mina dan berdiam diri disana.

Akhirnya hendaknya setiap muslim dan muslimah memanfaatkan semaksimal mungkin hari-hari ini untuk ketaatan kepada Allah, dzikir dan syukur kepada-Nya serta memenuhi semua kewajiban dan menjauhi setiap larangan begitu pula meraih karunia-karunia Allah untuk mendapatkan ridha-Nya. Dan hanya Allah pemberi taufiq dan hidayah kejalan yang lurus, mudah-mudahan Allah senantiasa mencurahkan rahmat dan kesejahteraan-Nya kepada Nabi Muhammad, keluarga dan sahabat-sahabatnya.



Sumber:

Islamhouse.com KEUTAMAAN SEPULUH HARI DZUL HIJJAH DAN AMALAN-AMALAN YANG DISYARI'ATKAN, penulis Syaikh ABDULLAH BIN ABDURRAHMAN AL JIBRIN

Abu Zubair.wordpress.com KEUTAMAAN SEPULUH HARI PERTAMA BULAN DZUL HIJJAH

Almanhaj.or.id KEUTAMAAN 10 HARI PERTAMA BULAN DZUL HIJJAH DAN AMALAN YANG DISYARIATKAN